Ribuan Santri Pondok Pesantren Cipulus Purwakarta Gelar Upacara HUT Kemerdekaan RI ke-71
Ribuan santri dan santriawati dari Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyah Cipulus, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta mengikuti upacara HUT Kemerdekaan RI ke-71 di halaman pondok pesantren, Rabu (17/8/2016) pagi.
Uniknya baik peserta upacara maupun pembina upacara memakai pakaian khas santri yaitu, sarung dan peci khas pesantren NU (Nahdlatul Ulama). Tidak ada yang beda seluruhnya mengenakan sarung dan peci hitam.
Meski demikian prosesi pelaksanaan upacara HUT RI di lingkungan Pondok Pesantrn Cipulus berjalan khidmat. Seperti biasanya upacara dimulai dari pembukaan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, nasehat pembina upacara dari Kiyai lalu pembacaan doa penutup.
Perjalanan sejarah membuktikan perjuangan Kemerdekaan RI tidak terlepas dari peran pondok pesantren dalam kemerdekaan. Terlebih perjuangan ulama, santri bersama masyarakat melawan penjajah menjadi bukti pondok pesantren menjadi wadah perjuangan dan wadah ilmu. Salah satu bukti perjuangan itu bisa dilihat dari lagu nasional “Yahlal Wathon” KH Abdul Wahab Chasbullah atau lebih dikenal oleh santri Mbah Wahab.
Seluruh santri dan santriawati yang mengikuti prosesi upacara HUT Kemerdekaan ini adalah pelajar penerus ulama NU. Mereka sehari-hari belajar ilmu umum dan agama dan mondok di Pesantren Al-Hikamussalafiyah Cipulus. Mereka mendapatkan ilmu dari guru sekaligus ustad di lingkungan pondok pesantren.
Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Kabupaten Purwakarta, Ceceng Abdul Qodir menguraikan sejarah panjang perjuangan ulama NU membantu kemerdekaan RI. Menurutnya tidak alasan bagi siapapun dan alasan apapun merongrong kemerdekaan RI.
“Bagi NU, kalau ingin mendirikan negara sendiri dengan dasar kepetingannya sendiri, silahkan saja, asal jangan di Negera RI yang sudah sah merdeka 17 Agustsu 1945. Sikap NU ini diformulasikan dengan kuat saat NU bersidang di Situbondo, Jawa Timur pada 1984. “Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah BENTUK FINAL perjuangan umat Islam. Jadi tidak boleh ada bentuk negara apapun, termasuk negara berdasarkan Islam atau syariah, di dalam negeri dan wilayah Indonesia,” jelasnya kepada Purwakarta Post.
Lebih tegas Ceceng mengatakan karakteristik Islam Nusantara dengan gaya khas tradisional bukanlah alasan bahwa ulama NU diam saat kemerdekaan Negara diganggu. Karenannya penting sekali peringatan HUT Kemerdekaan RI menjadi kilas balik perjuangan ulama dan seluruh masyarakat membawa Indonesia pada gerbang kemerdekaan.
“Orang-orang dan tokoh pentolan NU memang unik. Mereka terlihat seperti “orang kampungan”, dengan pakaian sesuai tradisi pedesaan yaitu sarung dan peci. Namun cara berpikir mereka sangat maju dan melampaui cara hidup mereka. Meski mereka kental dengan nuansa Islam, mereka menolak ada negara Islam di Indonesia. Stop! Cukup 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan Soekarno dan Hatta!,” ungkapnya tegas.
Usai mengikuti pelaksanaan upacara HUT Kemerdekaan RI ke-71 yang digelar di Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyah, ribuan santri lalu mengikuti berbagai perlombaan, seperti lomba Panjat Pinang yang diikuti santri laki-laki.
Sumber : Purwakarta Post
No comments